Jumat, 10 Juni 2011

Johnny Andrean


Johnny Andrean: Melahirkan Ide-ide Kreatif dari Jalan-jalan

JA
Nama ini begitu wangi belakangan ini. Tak cuma wangi sesampoan yang dimunculkan dari citranya yang melekat erat dengan dunia kecantikan, namun juga dari aroma roti dari butik-butik roti belakangan ini. Benar, dia adalah pemilik 209 gerai salon Johnny Andrean Salon-40 diantaranya berupa JA School and Training Center dan pemegang waralaba BreadTalk Indonesia yang kini sudah berjumlah 35 cabang.  Dia pula yang menciptakan waralaba lokal berskala internasional: J.Co Donuts and Coffee. Dalam waktu dua tahun, J.Co telah berdiri sebanyak 24 gerai.
September ini, Johnny kembali menciptakan momentum. Waralaba J.Co untuk pertama kalinya akan berkibar di mancanegara. Tepatnya 2 gerai di Kuala Lumpur dan 1 di Singapura. Dalam dunia pemasaran, boleh jadi ini menjadi hal yang fenomenal mengingat J.Co sendiri baru dibuka 2 tahun lalu dan langsung disambut antusias oleh pasar lokal. “Ke depan, saya ingin membuka pasar ke China, Hongkong, Korea dan Jepang,” ungkapnya bangga. Sebuah kebanggan yang wajar mengingat Johnny sudah 29 tahun merintis bisnis dan membiakkan waralaba, baru kini dia berhasil mendapatkan peluangnya. “Sudah saatnya brand Indonesia berkibar positif di manca negara,” tukasnya.
Bagi Indonesia, jelas ini sebuah prestasi besar. Setelah puluhan tahun diserang oleh waralaba donat-donat asing-dan juga waralaba apa saja di Indonesia, kini saatnya sang kaisar waralaba donat Indonesia go internasional,  “menyerang” balik  ke sarang lawan. Sejujurnya, ini adalah sebuah ungkapan keprihatinan Johnny akibat membanjirnya waralaba asing yang memasuki Indonesia dengan sangat mudah. Tapi brand Indonesia di mancanegara? “Boleh dibilang sangat tidak berimbang. Ini sangat tidak baik. Kita harus menciptakan sesuatu, dan inilah saatnya,” tegas pria 46 tahun ini.
Ke depan, dia sudah menyiapkan konsep kafe J. Lato. Untuk ini, dia sudah mengirimkan tim risetnya ke Remini dan Bologna. “Remini itu pusat gelato paling enak,” tukasnya. “Saya akan ciptakan gelato dengan rasa ketan item. Ini orisinil rasa Indonesia,” katanya seolah menjawab mengapa dia tak membuka gerai makanan Indonesia. Menurut Johhny, bekal untuk menuju pasar internasional adalah mempelajari know how-nya dulu. Setelah itu, baru dia masukkan rasa indonesia di dalamnya. ” Jadi, semua harus dilakukan dengansmooth….”
Untuk mendapatkan rasa “orisinal” itu, Johnny sendiri yang mengatur dan menentukan model menu yang akan disajikan. Anda bisa melihat bagaimana sentuhan tangan Johnny mampu merubah gaya donat standar menjadi lebih stylish. Seperti halnya Johnny mampu memengaruhi wanita dengan guntingan rambut ciptaannya, kreasi gaya donat yang diciptakannya itu ternyata menularkan ke gerai donat lain yang ada di Indonesia. Instingnya memang tak salah. Dan inilah kekuatan Johnny, ia mampu membentuk satu pasar baru melalui imajinasi gaya hidup yang ditawarkannya.
Keberhasilan ini memang tidak datang secara instan. Johnny sendiri adalah tipe pekerja keras yang intens, tak kenal lelah dan terus menemukan formula kesuksesan untuk bisnis yang ditanganinya. Seperti diungkapkan oleh Johnny tentang bagaimana ia bisa meraih kesuksesan itu.”Hidup memang harus selalu belajar dari pengalaman,” katanya berfilsafat. Bila konsepnya bisnisnya dan kualitas produk sudah diterima masyarakat, maka dengan segera dia akan melakukan duplikasi. Inilah resep kesuksesan Johnny hingga waralaba yang dimilikinya beranak pinak.
Untuk melengkapi wawasan berbisnis, tak segan ia melakukan perjalanan ke Amerika untuk mempelajari konsep marketing, Eropa untuk memelajari urusan penyajiannya, serta Jepang untuk display gerainya. J. Co adalah hasil dari kolaborasi perjalanan ini, selain tentu saja karena ia melanjutkan formula kesuksesannya di salon dan BreadTalk. Karena penataan interior, bar, dapur terbuka, hingga nama menu donat dan kopi terasa sangat Amerika, wajar saja bila jarang orang berpandangan bahwa J.Co Donuts and Coffee adalah waralaba asing. “Kita memang harus selalu berpikir ke depan,” ia menegaskan.
Dalam melakukan pekerjaannya, ayah 4 anak ini dibantu oleh tim yang terdiri atas anak-anak muda. “Disini justru yang muda yang dipercaya,” katanya sambil memplesetkan sebuah iklan rokok. “Saya suka anak muda karena dia tidak berpolitik. Kalau sudah senior, biasanya dia akan berpolitik. Ini mengganggu pekerjaan,” ungkapnya. Johnny sendiri mengaku sangat tidak berpolitik-satu pernyataan yang kontradiktif tentunya. Memilih tidak berpolitik merupakan satu sikap berpolitik bukan?
Bisa jadi, ia bukanlah tipikal pria yang suka terlibat dalam konflik. Dia memilih anak-anak muda karena dianggapnya akan lebih mudah dibentuk. “Seperti sebuah kertas putih, kita bisa mengaturnya. Seperti sebuah pohon, kita bisa membentuknya sesuai dengan keinginan kita,” Johnny membeberkan alasannya. Mereka juga lebih spontan, ini yang membuat Johnny mempunyai patner kerja yang sepadan. Lalu bagaimana dengan pegawai senior yang ada di kantornya? “Loh, mereka kan sudah jadi (sudah terbentuk). Artinya dia sudah menjadi aset perusahaan,”katanya. Soal apakah dia tipe atasan otoriter, Johnny lantas tertawa terbahak-bahak. “Tanyakan pada anak buah saya..,”
Gita Herdi, sahabat terdekat yang merangkap sebagai Public Relation Johnny Andrean Corporate memberikan pandangannya tentang atasannya itu. Katanya, “Dia tipikal pria workaholic. Meskipun dia seorang pemimpin, dia tidak sungkan untuk terjun langsung ke lapangan. Bahkan bila memang diperlukan, Sabtu-Minggu pun dia masuk ke kantor menemani kami.” Kedekatan inilah yang membuat Gita dan ribuan karyawan Johnny merasa memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap nasib perusahaan. Komunikasi dengan bawahan pun berlangsung cair, bahkan lebih terasa seperti bentuk hubungan pertemanan dibandingkan dengan hubungan atasan bawahan.
Meskipun kini dia sedang asyik-asyiknya mengerjakan industri roti, bukan berarti dia melupakan aktivitas waralaba salonnya. “Masih terus dong,,, sekarang saya kan sudah punya tim mantap. Mereka yang mengerjakan, saya terus memantau,” tukas Johnny. Ia juga membangun citranya melalui agenda Johnny Andrean Awards-ajang penghargaan bakat-bakat dalam dunia kecantikan, termasuk para bintang yang mempopulerkan rambut terbaru– setiap tahunnya. Lulusan Vidal Sasson Academy, London Inggris, Alexander de Paris, Perancis, Tony & Guy Academi London serta Trevor Sorbie Academi London ini kini juga kerjasama dengan Mandom Jepang untuk merekomendasikan produk-produk perawatan rambut untuk pasar Indonesia.
Arifaldi Dasril, Brand Public Relation Manager L’Oreal Professional Indonesia menyatakan kekagumannya pada etos kerja Jonny. Selama 4 tahun bekerjasama dalam agenda Johnny Andrean Award, Johnny menampakkan sifat yang terbuka dan mudah menerima pendapat orang lain. “Dia juga ulet untuk merangsang kreativitas stylist-stylistnya. Karena itulah L’Oreal Professional mengadakan kerja sama dengan Johnny yang dianggap memiliki misi yang sama: meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang dunia kecantikan rambut. “Dia tidak pelit berbagi pengetahuan,” tambah Arif.
Begitulah. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Dari ayahnya yang berbisnis di bidang usaha hasil bumi, dia diwarisi sifat-sifat ketegasan, ilmu wiraswasta, serta integritas dalam berkarya. Sementara, ibunya yang membuka salon kecil di rumahnya, Singkawang, Kalimantan Barat, memberikan banyak perhatian dan banyak rasa pengertian terhadap dirinya. “Sejak kecil, saya sudah membantu Ibu di salon,” katanya..
Johnny menuju Jakarta baru tahun 80-an, dan mendirikan salon kecil di Jakarta Utara. Jelas bukan perkara mudah untuk mengembangkan bisnis yang saat itu masih belum begitu banyak berkembang. Apalagi, ia berasal dari pulau yang jauh. Tapi bukan Johnny namanya bila dia tidak kreatif membuka pasarnya. Kunci kesuksesan sebuah salon adalah kedekatan hubungan dengan pelanggan. Pelayanan menjadi satu hal yang penting. Dan itulah yang dilakukan ole Johnny hingga ia merayap satu demi satu hingga membuka cabang di tempat lain.
Meskipun salon terus bertaburan, namun ia tetap yakin dengan usahanya. “Saya bisa memberikan pelayanan yang baik dan harga reasonable yang membuat salon saya menjadi kebutuhan banyak wanita,” begitu jawab Johnny, seolah menyindir banyaknya salon baru yang menawarkan layanan eksklusif dengan harga selangit. “Kalau orang membeli tas Hermes yang mahal, 20 tahun shape-nya sama, orang pun tahu mereknya. Tapi kalau salon? Walaupun dia digunting di Vidal Sasoon, apa dia mau teriak-teriak bahwa dia dipotong disana? Lagian, setelah keramas, bentuknya sudah berubah bukan? Saya ingin salon itu ke market yang lebih luas, bukan segelintir orang saja. Ini fokus kita.”
Dunia salon identik dengan dunia transgender, Johnny mengakuinya. Dia justru mengakui kelebihan kaum transgender yang terasa lebih kreatif dibanding yang lain. “Mungkin mereka lebih bisa menyelami hati wanita ya?,” ungkapnya tersenyum. Lalu melanjutkan,” Tapi banyak jalan menuju Roma bukan. Meski saya bukan transgender saya juga bisa menyelami wanita. Bagi saya, inilah yang benar.” Ia lantas menyebutkan nama Vidal Sassoon. Tony and Guy sebagai pemilik salon yang memiliki keluarga bahagia, seperti dirinya.
Ketika bicara cinta, pendar-pendar keceriaan itu terasakan di wajah Johnny. “Saya jatuh cinta pada Tina karena rambutnya yang panjang. Ketika itu, sulit sekali bagi saya menemukan wanita cantik yang menjaga rambut panjangnya,” katanya. Karena itu, ketika ia menemukan Tina, ia merasa bahwa wanita yang kemudian dinikahinya ini memiliki karakter yang unik, telaten, bisa merawat dirinya dan keluarganya. Seperti ia bercermin pada keluarganya, ia berprinsip bahwa kesuksesan karir sangat tergantung pada keberhasilannya merawat rumah tangga.
Firasat Johnny tidak salah. Ia menceritakan, lagi-lagi dengan binar matanya, tentang cinta yang tumbuh dan berkembang di dalam keluarganya. Di rumahnya yang asri, ia melengkapi seluruh fasilitas, seperti ruang keluarga yang nyaman tempat Johnny dan anak-anaknya mendengarkan lagu-lagu slow, salon untuk merawat rambutnya supaya tetap sehat dan berkilau, spa untuk merawat kulit tubuhnya, hingga fitness center. “Rumah adalah tempat saya pulang. Tempat saya merasa selalu nyaman,” ungkapnya.  Di rumah inilah, Tina merawat kulit wajahnya supaya tetap segar dan kencang seperti sekarang ini.
Tentang kedekatan ini, Tinapun mengakui. “Sebagai seorang ayah, dia sayang dengan keempat anaknya. Sementara sebagai suami, dia sangat memperhatikan saya. Bahkan cenderung protektif, tapi saya yakin itu pasti untuk kebaikan.” Johnny selalu melewatkan masa weekendnya bersama keluarga. “Dia ingin saya selalu memasakkan untuknya, dan kami makan bersama-sama di rumah,” cerita Tina. Jenis masakan yang disukai: makanan Jepang dan Italia.
Apa kata Johnny tentang ini? “Saya sebenarnya bukan pria rumahan. Tapi sepertinya itu adalah hal yang harus saya bayar karena setiap hari ada diluar, gak pagi gak malam, terkadang sampai malam. Nah, karena itu kita harus ada di rumah untuk balance, mencari inspirasi baru,”katanya. Mungkin, Johnny ingin memberikan wewangian itu untuk keluarganya, dengan limpahan kasih sayang dan kehangatannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar